Menjaga dan Meningkatkan Nilai Aset Sejarah Nasional

MENJAGA DAN MENINGKATKAN NILAI ASET SEJARAH NASIONAL

 

“Jangan sekali-sekali melupakan sejarah”  Ir. Sukarno (Presiden RI 1945 – 1967)

Sukarno tak asal bicara. Sejarah dan kehidupan manusia tiada dapat dipisahkan. Setiap peristiwa merupakan bagian dari sejarah dengan beragam peninggalan memori berupa benda, gambar, ataupun tulisan. Semuanya dapat memberikan inspirasi bagi kehidupan dan perkembangan budaya sejarah manusia di masa mendatang.

Kebijakan pengelolaan nilai-nilai sejarah bangsa Indonesia belum memiliki arah yang jelas. Ambil contoh pengelolaan nilai-nilai sejarah di DKI Jakarta saja. Walau kerap berganti gubernur, hingga kini revitalisasi Kota Tua baru sebatas wilayah Museum Fatahillah. Tampaknya program Revitalisasi yang dibuat Pemprov DKI baru menyentuh konsep di atas kertas. Bisa dikatakan Pemprov DKI belum melindungi dan melestarikan kawasan Kota Tua.

Apakah sepenting itu menjaga nilai sejarah bangsa? Nilai manfaat apa yang bisa digali untuk kepentingan ekonomi? Pertanyaan pertama tentu dapat menjadi sebuah inspirasi sedangkan hal kepentingan ekonomi akan kembali lagi kepada kita, bagaimana cara mengelola dan memanfaatkannya. Banyak kota-kota di dunia yang menjaga nilai-nilai sejarahnya dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan termasuk wisata.

Cara efektif untuk menjaga adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat. Tidak salah bila dikatakan masyarakat kita memiliki kesadaran rendah dalam menjaga nilai sejarah bangsa. Di daerah Tanjung Barat, sebuah situs peninggalan zaman Hindia Belanda dengan papan perlindungan cagar budaya, justru dimanfaatkan untuk lahan parkir warga sekitar.

Kita bisa mengambil contoh Singapura dalam mengelola lokasi bersejarah untuk kepentingan masyarakatnya di masa depan. Seperti yang disampaikan oleh Prof. Dr. Eko Budiardjo, “Sebuah kota tanpa bangunan tua itu ibarat manusia tanpa ingatan.” Dalam hal ini, ternyata Singapura menjaga banyak bangunan tuanya seperti saat awal dibangun, walaupun telah beralih fungsi pemanfaatannya.

Kebijakan Pembangunan dan Kewenangan Lembaga

Singapura membentuk dua lembaga, yakni Housing Development Board (HDB) dan Economic Development Board (EDB) pada tahun 1965 untuk menyusun perencanaan dan kebijakannya. Kemudian di tahun 1967 membentuk Urban Renewal Development (URD) di bawah HDB untuk menangani masalah fisik, sosial dan regenerasi ekonomi Area Pusat. Peran dari lembaga URD kemudian diambil alih oleh Ministry of National Development yang membentuk Urban Redevelopment Authority (URA), dengan tugas membangun kembali Area Pusat dan relokasi penduduk akibat pembangunan tersebut. Hasilnya, wilayah kumuh di Area Pusat disulap menjadi wilayah bisnis keuangan moderen (Johannes Widodo, Conservation in Singapore, 2014).

Kesiapan ini juga tidak lepas dari rencana pembangunan wilayah jangka panjang dan penyusunan panduan untuk menjalin pembangunan moderen dengan lingkungan yang terkait sejarah, warisan budaya, dan arsitektur tua, yang menjadi bagian kota. Upaya ini menjaga bangunan-bangunan tuanya tetap eksis namun melupakan faktor jalinan sosialnya. Sebab, relokasi penduduk menghilangkan komunitas aslinya sebagai simbol dan upaya perlindungan sosial-budayanya.

Konservasi sebenarnya tidak sekedar melindungi artifisial bangunan luar. Kita juga harus menjaga nilai semangat dan warna asli dari bangunan-bangunan tua sejauh memungkinkan. Ini memerlukan apresiasi dan pemahaman dari struktur arsitektur bangunan, manajemen yang baik, dan praktek konservasi bangunan.

Contoh sukses pekerjaan URA adalah Gedung “Asia Insurance”  (kini The Ascott Raffles Place). URA membuat panduan 3R: Retensi maksimum, Restorasi yang sensitif, dan Reparasi dengan kehati-hatian. Riset mendalam tentang bangunan tersebut dilakukan sebelum konservasi. Seluruh prosesnya dilakukan secara well documented. Bangunan tersebut mendapatkan Architectural Heritage Award pada tahun 2009 untuk kualitas restorasi yang mengikuti prinsip 3R. Keberhasilan itu diraih melalui riset dan konsep pembangunan yang ketat, sesuai pembuatan aslinya dengan bahan dan bentuk awal bangunan tersebut.

Perlunya manajemen Warisan Budaya Bangsa

Sesungguhnya ribuan bangunan bersejarah terserak sekaligus terbenam di penjuru Indonesia. Sejak tahun 1643, Sultan Agung dari Mataram telah membuat kawasan industri kecil sebagai “pabrik” meriam ukuran raksasa dan senjata perang lainnya. Thomas Raffles menulis dalam The History of Java, tahun 1817, bahwa pada abad ke-17 industri kecil berbasis rumah tangga telah lahir di pulau Jawa, dengan dengan berbagai produk teknologi industri tenun, tekstil, dan berbagai olahan alam. Ini menjadi cerita keahlian manusia Indonesia masa lampau.

Kebijakan tanam paksa tahun 1830-1870 pun melahirkan industri modern berskala besar. Puluhan pabrik gula didirikan oleh pemerintah koloni, seperti industri mesin pabrik gula NV Machine Fabriek Dapoean pada tahun 1858 di Surabaya. Tahun 1870, di Semarang berdiri NV Van der Linde & Teves sebagai industri maintenance, repair and overhaul pabrik gula, dengan fasilitas perbengkelan mesin sangat lengkap. Kini nyaris sebagian besar kejayaan gula masa lalu hilang jejak sejarah dan bangunannya.

Saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda pada tahun 1870, terdorong oleh dibukanya liberalisasi, terjadi proses modernisasi alat peralatan utama industri di Indonesia. Industri bangkit, yang mestilah dibarengi sarana prasarana penunjang seperti hotel, kereta api dan transportasi lain, hunian, dan perdagangan. Ratusan bangunan klasik tumbuh pesat namun generasi masa kini hanya mendengar berbagai cerita itu, tanpa bisa meraba dan membayangkan bagaimana wujudnya. Sebagian hanya tersisa dalam buku foto.

Beberapa tahun lalu pernah ada kasus menarik. Tahun 2009 terjadi kontroversi penggusuran Benteng Vastenburg di Solo yang akan dialihfungsikan. Walikota Solo saat itu, Joko Widodo (sekarang Presiden RI), mengumpulkan para pihak yang berkepentingan namun tidak mendapat titik temu. Bangunan yang sudah dikuasai oleh pihak investor tersebut menjadi terlantar. Ada contoh lain, seperti pemanfaatan Gedung Hotel Indonesia yang saat ini sudah berganti tangan ke investor swasta. Bagian yang disisakan hanyalah tampak depan hotel saat awal pembangunan. Masyarakat pun kehilangan pengetahuan dan semangat zaman yang terkandung dalam gedung tersebut. Mengapa Presiden Sukarno membangun Hotel Indonesia? Bagaimana pembiayaannya? Apa dampak bagi Indonesia saat itu?

Kasus Benteng Vastenburg dan Hotel Indonesia menunjukkan pemerintah belum memiliki kebijakan komprehensif mengenai konservasi gedung tua bersejarah. Seringkali kebijakan yang parsial memihak kepada investor. Dalam kasus kepemilikan Benteng Vastenburg, walaupun sudah menjadi cagar budaya, namun kepemilikannya diserahkan kepada swasta yang ingin membangun kembali benteng tersebut. Menurut Damar Arief S, pengalihan tersebut seharusnya tidak terjadi seandainya siapapun pengambil keputusan memiliki kesadaran kultural (Polemik di Benteng Vastenburg, makalah, 2011).

Kelemahan tersebut menunjukkan perlunya manajemen warisan budaya bangsa. Menurut VTC. Middleton (1994), “Heritage management is the management of visitors in an historic place in the interest of the historic fabric and the enhancement of visitor appreciation and experience: ‘Establishing, operating and managing organisations to handle visits and manage public access’ .”

Pemerintah Singapura membentuk URA tahun 1974 dan memerlukan waktu lima belas tahun untuk membentuk pedoman konservasi dan preservasi gedung tua pada tahun 1989. Pemerintah RI pun perlu mengimplementasikan kebijakan dan pedoman bersama lintas instansi, seperti Bappenas, Kementerian PU dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta Badan Pertanahan Nasional. Seluruh individu harus taat terhadap kebijakan yang melindungi sejarah dan peradaban Indonesia yang lebih besar.

 

Yunadi Ramlan, peneliti LKPS.

Lembaga Kajian dan Peminatan Sejarah

You may also like...